Rabu, 17 Maret 2010

Nasib Seorang Anak

Oleh A. Hafidlul Umam

Aku berusia 14 tahun. Namaku Tio Aditya, tetapi biasa dipanggil Adit. Aku adalah anak satu-satunya dikeluargaku. Sekarang aku duduk di kelas 3 SMP Nusa Makmur. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku di desa Nusa Makmur. Ibuku bernama Sri Muryanti dan ayahku Haryadi namanya. Namun, akhir-akhir ini mereka sering bertengkar. Aku sangat sedih melihatnya.

Suara azan Isya mulai dikumandangkan di masjid An Nur. Aku bergegas untuk mengambil air wudlu lalu melaksanakan kewajibanku untuk salat Isya di rumah. Setelah salat, aku berdoa agar memperoleh nilai yang baik dalam ulangan di sekolah.

Setelah salat aku mulai belajar, karena besok ada ulangan IPS di sekolah. Saat belajar, tiba-tiba ayah dan ibuku bertengkar. Aku pun berhenti belajar.

“Pyar,....” suara piring yang dibanting ayahku.

“Bu, dari mana kamu?” tanya ayahku marah-marah.

“Terserah saya, Pak! Bapak sendiri dari mana seharian ini?” gantian ibu bertanya dengan nada tinggi.

“Ya sudah, terserah kamu! Aku tidak akan mencampuri urusanmu,” kata ayah sambil meninggalkan Ibu.

Pertengkaran itu sering terjadi setiap hari. Ibuku yang aslinya penurut kepada suami, sekarang berubah menjadi seorang istri yang keras dan pembantah. Mungkin itu gara-gara ayahku yang sering mabuk-mabukan, main judi dan berlaku keras terhadap ibuku. Setelah bertengkar ayah dan ibuku pergi entah ke mana. Mereka tidak pernah memperhatikanku. Yang mereka pentingkan hanya mencari kesenangan hidup. Malam ini aku harus tidur sendirian di rumah. Kalau begini, aku hanya bisa meratapi nasibku. Sedih memang rasanya. Namun, aku tidak mau menangis. Apa gunanya menangis?

* * *

Waktu subuh sudah tiba. Aku bangun untuk melaksanakan salat Subuh. Setelah itu, aku berolahraga untuk menenangkan pikiran. Lalu aku mandi, pakai seragam, dan langsung berangkat sekolah.

Sampai di sekolah, bel berbunyi. Aku langsung masuk ke kelasku. Setelah masuk, langsung diadakan ulangan. Aku hanya bisa menjawab lima dari sepuluh soal yang diujikan. Walaupun tidak bisa, aku tidak mau meminta bantuan dari orang lain. Biasanya, kalau ulangan aku bisa mengerjakan. Namun, kali ini pikiranku kacau. Susah sekali berkonsentrasi. Aku masih memikirkan pertengkaran orang tuaku semalam.

Sesampai aku pulang dari sekolah ternyata ada suara-suara keras dari dalam rumah. Suara ayah dan ibu. Aku berhenti di depan pintu. Kali ini mereka memutuskan untuk bercerai. Aku mencoba untuk mencegah. Namun, mereka tetap ingin bercerai.

“Apakah Ayah dan Ibu tidak kasihan padaku?” kataku dengan sedih. Namun, mereka tidak menghiraukan pertanyaanku.

Pada hari berikutnya, mereka melaksanakan sidang perceraian di Pengadilan Agama. Akupun yang menjadi saksi dalam persidangan itu. Akupun disumpah dalam memberi kesaksian.

“Apakah ayah dan ibumu sering bertengkar?”tanya ketua sidang.

Dalam hatiku aku tidak ingin mengatakan yang sejujurnya. Namun disisi lain, aku sudah di sumpah dan akupun tidak ingin ayah dan ibuku bercerai. Akupun memilih untuk mengatakan yang sesungguhnya.

“Ya pak!”jawabku.

Dari jawabanku itu hakim memutuskan bahwa ayah dan ibuku telah resmi bercerai. Aku sangat sedih. Dalam hatiku aku menyesal karena telah mengatakan yang sesungguhnya. Namun apa gunanya menyesal? Nasi sudah menjadi bubur, dan itupun sudah takdir hidupku. Namun, untung aku masih punya nenek. Nenekku bernama Sutarmi. Beliau mengajakku untuk tinggal bersamanya.

Sehari kemudian, aku tinggal di rumah nenekku. Walaupun nenekku sudah tua, beliau sangat perhatian kepadaku. Aku sangat senang tingal bersamanya. Karena itu, aku ingin membahagiakannya dengan terus belajar untuk meraih cita-citaku menjadi seorang guru

Jumat, 12 Maret 2010

cermin kehidupan

Nasib Seorang Anak

Oleh A. Hafidlul Umam

Aku berusia 14 tahun. Namaku Tio Aditya, tetapi biasa dipanggil Adit. Aku adalah anak satu-satunya di keluargaku. Sekarang aku duduk di kelas 3 SMP Nusa Makmur. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku di desa Nusa Makmur. Ibuku bernama Sri Muryanti dan ayahku Haryadi namanya. Namun, akhir-akhir ini mereka sering bertengkar. Aku sangat sedih melihatnya.


Suara azan Isya mulai dikumandangkan di masjid An Nur. Aku bergegas untuk mengambil air wudlu lalu melaksanakan kewajibanku untuk salat Isya di rumah. Setelah salat, aku berdoa agar memperoleh nilai yang baik dalam ulangan di sekolah.


Setalah salat aku mulai belajar karena besok ada ulangan IPS di sekolah. Saat belajar, tiba-tiba ayah dan ibuku bertengkar. Aku pun berhenti belajar.

“Pyar,....”

Suara piring yang dibanting ayahku.

“Bu, dari mana kamu?” tanya ayahku marah-marah.

“Terserah saya, Pak! Bapak sendiri dari mana seharian ini?” gantian ibu bertanya dengan nada tinggi.

“Ya sudah, terserah kamu! Aku tidak akan mencampuri urusanmu,” kata ayah sambil meninggalkan Ibu.


Setelah bertengkar ayah dan ibuku pergi entah ke mana. Merka tidak pernah memperhatikanku. Yang mereka pentingkan hanya mencari kesenangan hidup. Malam ini aku harus tidur sendirian di rumah. Kalau begini, aku hanya bisa meratapi nasibku. Sedih memang rasanya. Namun, aku tidak mau menangis. Apa gunanya menangis?

* * *

Waktu subuh sudah tiba. Aku bangun untuk melaksanakan salat Subuh. Setelah itu, aku berolahraga untuk menenangkan pikiran. Lalu aku mandi, pakai seragam, dan langsung berangkat sekolah.


Sampai di sekolah,bel berbunyi. Aku langsung masuk ke kelasku. Setelah masuk, langusng diadakan ulangan. Aku hanya bisa menjawab lima dari sepuluh soal yang diujikan. Walaupun tidak bisa, aku tidak mau meminta bantuan dari orang lain. Biasanya, kalau ulangan aku bisa mengerjakan. Namun, kali ini pikiranku kacau. Susah sekali berkonsentrasi. Aku masih memikirkan pertengkaran orang tuaku semalam.

Sesampai aku pulang dari sekolah ternyata ada suara-suara keras dari dalam rumah. Suara ayah dan ibu. Aku berhenti di depan pintu. Kali ini mereka memutuskan untuk bercerai. Aku mencoba untuk mencegah. Namun, mereka tetap ingin bercerai.

“Apakah Ayah dan Ibu tidak kasihan padaku?” kataku dengan sedih. Namun, mereka tidak menghiraukan pertanyaanku.

Pada hari berikutnya, mereka telah resmi bercerai di Pengadilan Agama. Setelah resmi bercerai, aku tidak tahu perginya ayah dan ibuku. Aku sangat sedih. Namun, untung aku masih punya nenek. Nenekku bernama Sutarmi. Beliau mengajakku untuk tinggal bersamanya. Nenekku sangat perhatian kepadaku. Aku sangat senang tingal bersamanya. Karena itu, aku ingin membahagiakannya dengan terus belajar untuk meraih cita-citaku menjadi seorang guru.